Jumat, 15 Februari 2013

Teori Belajar Behavioristik



BAB I
PENDAHULUAN


A.  Latar Belakang
Menurut teori behavioristik, belajar adalah perubahan tingkah laku sebagai akibat dari adanya interaksi antara stimulus dan respon. Seseorang dianggap telah belajar sesuatu apabila ia mampu menunjukkan perubahan tingkah laku. Dengan kata lain, belajar merupakan bentuk perubahan yang dialami siswa dalam hal kemampuannya untuk bertingkah laku dengan cara yang baru sebagai hasil interaksi antara stimulus dan respon. Stimulans tidak lain adalah lingkungan belajar anak, baik yang internal maupun eksternal yang menjadi penyebab belajar. Sedangkan respons adalah akibat atau dampak, berupa reaksi fisik terhadap stimulans. Belajar berarti penguatan ikatan, asosiasi, sifat dan kecenderungan perilaku S-R (Stimulus-Respon).
Proses yang terjadi antara stimulus dan respon tidak penting untuk diperhatikan karena tidak dapat diamati dan tidak dapat diukur. Yang dapat diamati adalah stimulus dan respon, oleh karena itu apa yang diberikan oleh guru (stimulus) dan apa yang diterima oleh siswa harus dapat diamati dan diukur. Teori ini mengutamakan pengukuran, sebab pengukuran merupakan suatu hal penting untuk melihat terjadi atau tidaknya perubahan tingkah laku tersebut.
Menurut teori ini yang terpenting adalah masuk atau input yang berupa stimulus dan keluaran atau output yang berupa respon. Sedangkan apa yang terjadi di antara stimulus dan respon dianggap tidak penting diperhatikan karena tidak bisa diamati. Faktor lain yang juga dianggap penting oleh aliran behavioristik adalah faktor penguatan (reinforcement) penguatan adalah apa saja yang dapat memperkuat timbulnya respon. Bila penguatan ditambahkan (positive reinforcement) maka respon akan semakin kuat. Begitu juga bila penguatan dikurangi (negative reinforcement) respon pun akan tetap dikuatkan.
Faktor lain yang dianggap penting oleh aliran behavioristik adalah faktor penguatan (reinforcement). Bila penguatan ditambahkan (positive reinforcement) maka respon akan semakin kuat. Begitu pula bila respon dikurangi/dihilangkan (negative reinforcement) maka responpun akan semakin kuat. Beberapa prinsip dalam teori belajar behavioristik, meliputi: (1) Reinforcement and Punishment; (2) Primary and Secondary Reinforcement; (3) Schedules of Reinforcement; (4) Contingency Management; (5) Stimulus Control in Operant Learning; (6) The Elimination of Responses (Gage, Berliner, 1984). Tokoh-tokoh aliran behavioristik di antaranya adalah Thorndike,Watson, Clark Hull, Edwin Guthrie, dan Skinner.
B. Rumusan Masalah
1.    Bagaimana pengertian dari teori behavioristik?
2.    Bagaimana para ahli menemukan dan mengembangkan teori behavioristik?
3.    Bagaimana contoh peristiwa percobaannya dalam teori behavioristik?
4.    Bagaimana penerapannya dalam pembelajaran (masa kini)?

C. Tujuan
1.    Mendefinisikan pengertian dari teori behavioristik dari berbagai para ahli.
2.    Menjelaskan penemuan dan pengembangan para ahli teori behavioristik.
3.    Mendeskripsikan contoh peristiwa percobaan dalam teori behavioristik.
4.    Mendeskripsikan aplikasi teori behavioristik dalam pembelajaran saat ini.


 
BAB II
PEMBAHASAN


A.  Pengertian Teori Belajar Behavioristik
Teori belajar behavioristik menjelaskan belajar adalah perubahan perilaku yang dapat diamati, diukur dan dinilai secara konkret. Perubahan terjadi melalui rangsangan (stimulans) yang menimbulkan hubungan perilaku reaktif (respon) berdasarkan hukum-hukum mekanistik. Stimulans tidak lain adalah lingkungan belajar anak, baik internal maupun eksternal yang menjadi penyebab belajar. Sedangkan respons adalah akibat atau dampak, berupa reaksi fifik terhadap stimulans. Belajar berarti penguatan ikatan, asosiasi, sifat da kecenderungan perilaku S-R (stimulus-Respon). Menurut teori behavioristik, belajar adalah perubahan tingkah laku sebagai akibat dari adanya interaksi antara stimulus dan respon. Seseorang dianggap telah belajar sesuatu apabila ia mampu menunjukkan perubahan tingkah laku. Dengan kata lain, belajar merupakan bentuk perubahan yang dialami siswa dalam hal kemampuannya untuk bertingkah laku dengan cara yang baru sebagai hasil interaksi antara stimulus dan respon. Menurut teori ini yang terpenting adalah masuk atau input yang berupa stimulus dan keluaran atau output yang berupa respon. Sedangkan apa yang terjadi di antara stimulus dan respon dianggap tidak penting diperhatikan karena tidak bisa diamati. Faktor lain yang juga dianggap penting oleh aliran behavioristik adalah faktor penguatan (reinforcement) penguatan adalah apa saja yang dapat memperkuat timbulnya respon. Bila penguatan ditambahkan (positive reinforcement) maka respon akan semakin kuat. Begitu juga bila penguatan dikurangi (negative reinforcement) respon pun akan tetap dikuatkan. Misalnya, ketika peserta didik diberi tugas oleh guru, ketika tugasnya ditambahkan maka ia akan semakin giat belajarnya. Maka penambahan tugas tersebut merupakan penguatan positif (positive reinforcement) dalam belajar. Jadi penguatan merupakan suatu bentuk stimulus yang penting diberikan (ditambahkan) atau dihilangkan (dikurangi) memungkinkan terjadinya respons.
Tokoh-tokoh aliran behavioristik diantaranya Thorendike, Watson, Clark Hull, Edwin Guthrie dan Skinner. Pada dasarnya para penganut aliran behavioristik setuju dengan pengertian belajar diatas, namun ada beberapa perbedaan pendapat diantara mereka. Secara singkat, berturut-turut akan dibahas karya-karya para tokoh aliran behavioristik sebagai berikut:

B. Teori-Teori Belajar Behavioristik Menurut Para Ahli
1.    Teori Belajar MenurutThorndike
Menurut Thorndike, belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respon. Stimulus yaitu apa saja yang dapat merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran, perasaan, atau hal-hal lain yang dapat ditangkap melalui alat indera. Sedangkan respon yaitu reaksi yang dimunculkan peserta didik ketika belajar, yang juga dapat berupa pikiran, perasaan, atau gerakan/tindakan. Dari defenisi ini maka menurut Thorndike perubahan tingkah laku akibat dari kegiatan belajar itu dapat berwujud kongkrit yaitu yang dapat diamati, atau tidak kongkrit yaitu yang tidak dapat diamati.
2.    Teori Belajar Menurut Watson
Watson adalah seorang tokoh aliran behavioristik yang datang sesudah Thorndike. Menurutnya, belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respon, namun stimulus dan respon yang dimaksud harus berbentuk tingkah laku yang dapat diamati (observabel) dan dapat diukur. Dengan kata lain, walaupun ia mengakui adanya perubahan-perubahan mental dalam diri seseorang selama proses belajar, namun ia hal-hal tersebut sebagai faktor yang tak perlu diperhitungkan. Ia tetap mengakui bahwa perubahan-perubahan mental dalam benak siswa itu penting, namun semua ini tidak dapat menjelaskan apakah seseorang telah belajar atau belum karena tidak dapat diamati.
Watson adalah seorang behavioris murni, karena kajiannya tentang belajar disamakan dengan ilmu-ilmu lain seperti fisika atau biologi yang sangat berorientasi pada pengalaman empirik semata, yaitu sejauh dapat diamati dan dapat diukur. Asumsinya bahwa, hanya dengan demikianlah maka akan dapat diramalkan perubahan-perubahan apa yang bakal terjadi setelah seseorang melakukan tindak belajar. Para tokoh aliran behavioristik cenderung untuk tidak memperhatikan hal-hal yang tidak dapat diukur dan tidak dapat diamati, seperti perubahan-perubahan mental yang terjadi ketika belajar, walaupun demikian mereka tetap mengakui hal itu penting.

3.    Teori Belajar Menurut Clark Hull
Clark Hull juga menggunakan variabel hubungan antara stimulus dan
respon untuk menjelaskan pengertian tentang belajar. Namun ia sangat terpengaruh oleh teori evolusi yang dikembangkan oleh Charles Darwin. Bagi Hull, seperti halnya teori evolusi, semua fungsi tingkah laku bermanfaat terutama untuk menjaga kelangsungan hidup manusia. Oleh sebab itu, teori hull mengatakan bahwa kebutuhan biologis dan pemuasan kebutuhan biologis adalah penting dan menempati posisi sentral dalam seluruh kegiatan manusia, sehingga stimulus dalam belajarpun hampir selalu dikaitkan dengan kebutuhan biologis, walaupun respon yang akan muncul mungkin dapat bermacam-macam bentuknya. Dalam kenyataannya, teori-teori demikian tidak banyak digunakan dalam kehidupan praktis, terutama setelah Skinner memperkenalkan teorinya. Namun, teori ini masih sering dipergunakan dalam berbagai eksperimen di laboratorium.

4.    Teori Belajar Menurut Edwin Guthrie
Demikian juga dengan Edwin Guthrie, ia juga menggunakan variabel hubungan stimulus dan respon untuk menjelaskan terjadinya proses belajar. Namun ia mengemukakan bahwa stimulus tidak harus berhubungan dengan kebutuhan atau pemuasan biologis sebagaimana yang dijelaskan oleh Clark dan Hull. Dijelaskannya bahwa hubungan antara stimulus dan respon cenderung hanya bersifat sementara, oleh sebab itu dalam kegiatan belajar peserta didik perlu sesering mungkin diberikan stimulus agar hubungan antara stimulus dan respon bersifat lebih tetap. Ia juga mengemukakan, agar respon yang muncul sifatnya lebih kuat mudah bahkan menetap, maka diperlukan berbagai macam stimulus yang berhubungan dengan respon tersebut. Guthrie juga percaya bahwa hukuman (punishmen) memegang peranan penting dalam proses belajar. Hukuman yang diberikan pada saat yang tepat akan mampu merubah kebiasaan dan perilaku seseorang. Namun setelah Skinner mengemukakan dan mempopulerkan akan pentingnya penguatan (reinforcement) dalam teori belajarnya, maka hukuman tidak lagi dipentingkan dalam belajar.

5.    Teori Belajar Menurut Skinner
Konsep-konsep yang dikemukakan oleh Skinner tentang belajar mampu mengungguli konsep-konsep lain yang dikemukakan oleh para tokoh sebelumnya. Ia mampu menjelaskan konsep belajar secara sederhana, namun dapat menunjukkan konsepnya tentang belajar secara lebih komprehensif. Menurut Skinner, hubungan antara stimulus dan respons yang terjadi melalui interaksi dalam lingkungannya, yang kemudian akan menimbulkan perubahan tingkah laku, tidaklah sesederhana yang digambarkan oleh para tokoh sebelumnya. Dikatakannya bahwa respon yang diberikan oleh seseorang atau siswa tidaklah sederhana itu. Sebab, pada dasarnya stimulus-stimulus yang diberikan kepada seseorang akan saling berinteraksi dan interaksi antara stimulus-stimulus tersebut akan mempengaruhi bentuk respons yang akan diberikan. Demikian juga dengan respons yang dimunculkan ini akan mempunyai konsekuensi-konsekuensi. Konsekuensi-konsekuensi inilah yang pada gilirannya akan mempengaruhi atau akan menjadi pertimbangan munculnya perilaku. Oleh sebab itu, untuk memahami tingkah laku seseorang secara benar, perlu terlebih dahulu memahami hubungan antara stimulus satu dengan lainnya, serta memahami respon yang mungkin akan timbul sebagai akibat dari respon tersebut. Skinner juga mengemukakan bahwa dengan menggunakan perubahan-perubahan mental sebagai alat untuk menjelaskan tingkah laku hanya akan menambah rumitnya masalah. Sebab, setiap alat yang digunakan perlu penjelasan lagi, demikian dan seterusnya.
      Pandangan teori belajar behavioristik ini cukup lama dianut oleh para guru dan pendidik. Namun dari semua pendukung teori ini, teori Skinnerlah ynag paling besar pengaruhnya terhadap perkembangan teori belajar behavioristik. Program-program pembelajaran seperti Teaching Machine, Pembelajaran berprogram, modul, dan program-program pembelajaran lain yang berpijak pada konsep hubungan stimulus-respons serta mementingkan faktor-faktor penguat (reinforcement), merupakan program-program pembelajaran yang menerapkan teori belajar yang dikemukakan oleh Skinner.
Teori behavioristik banyak dikritik karena sering kali tidak mampu menjelaskan situasi belajar yang kompleks, sebab banyak variable atau hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan dan/atau belajar yang tidak dapat diubah menjadi sekedar hubungan stimulus dan respon. Contohnya, seorsng siswa akan dapat belajar dengan baik setelah diberi stimulus tertentu. Tetapi setelah diberi stimulus lagi yang sama bahkan lebih baik, ternyata siswa tersebut tidak mau belajar lagi. Disinilah persoalannya, ternyata teori behavioristik dapat mengganti stimulus satu dengan stimulus lainnya dan seterusnya sampai respon yang diinginkan muncul. Namun demikian, persoalan adalah bahwa teori behavioristik tidak dapat menjawab hal-hal yang menyebabkan terjadinya penyimpangan antara stimulus yang diberikan dengan responnya.
Sebagai contoh, motivasi sangat berpengaruh dalam proses belajar Pandangan behavioristik menjelaskan bahwa banyak siswa termotivasi pada kegiatan-kegiatan di luar kelas (bermain video-game, berlatih atletik), tetapi tidak termotivasi mengerjakan tugas-tugas sekolah. Siswa tersebut mendapatkan pengalaman penguatan yang kuat pada kegiatan-kegiataan di luar pelajaran, tetapi tidak mendapatkan penguatan dalam kegiatan belajar di kelas.
Pandangan behavioristik tidak sempurna, kurang dapat menjelaskan adanya variasi tingkat emosi siswa, walaupun mereka memiliki pengalaman penguatan yang sama. Pandangan ini tidak dapat menjelaskan mengapa dua anak yang mempunyai kemampuan dan pengalaman penguatan yang relatif sama, ternyata perilakunya terhadap suatu pelajaran berbeda, juga dalam memilih tugas sangat berbeda tingkat kesulitannya. Pandangan behavioristik hanya mengakui adanya stimulus dan respon yang dapat diamati tersebut.
Teori behavioristik juga cenderung mengarahkan siswa untuki berfikir linier, konvergen, tidak kreatif dan tidak produktif. Pandangan teori ini bahwa belajar merupakan proses pembentukan atau shaping, yaitu membawa siswa menuju atau mencapai target tertentu, sehingga menjadikan peserta didik untuk tidak bebas berkreasi dan berimajinasi. Padahal banyak faktor yang berpengaruh proses belajar. Jadi pengertian belajar tidak sesederhana yang dilukis oleh teori behavioristik.
Skinner dan tokoh-tokoh lain pendukung teori behavioristik memang tidak menganjurkan digunakannya hukuman dalam kegiatan belajar. Namun, apa yang mereka sebut dengan penguat negatif (negative reinforcement) cenderung membatasi siswa untuk bebas berpikir dan berimajinasi.
Menurut Githrie hukuman memegang peranan penting dalam proses belajar. Namun ada beberapa alasan mengapa Skinner tidak sependapat dengan Guthrie, yaitu:
a.         Pengaruh hukuman terhadap perubahan tingkah laku sangat bersifat sementara.
b.        Dampak psikologis yang buruk mungkin akan terkondisi (menjadi bagian dari jiwa terhukum) bila hukuman berlansung lama.
c.         Hukuman mendorong si terhukum mencari cara lain (meskipun salah dan buruk) agar ia terbebas dari hukuman. Dengan kata lain, hukuman dapat mendorong si terhukum melakukan hal-hal lain yang kadangkala lebih buruk daripada kesalahan yang diperbuatnya.
            Skinner lebih percaya kepada apa yang disebut sebagai penguat negatif. Penguat negatif tidak sama dengan hukuman. Ketidaksamaanya terletak pada bila hukuman harus diberikan (sebagai stimulus) agar respon yang akan muncul berbeda dengan respon yang sudah ada, sedangkan penguat negatif (sebagai stimulus) harus dikurangi agar respon yang sama menjadi semakin kuat. Misalnya, seorang siswa perlu dihukum karena melakukan kesalahan. Jika siswa tersebut masih saja melakukan kesalahan, maka hukuman harus ditambahkan. Tetapi jika sesuatu yang tidak mengenakkan siswa (sehingga ia melakukan kesalahan) dikurangi (bukan malah ditambah) dan pengurangan ini mendorong siswa untuk memperbaiki kesalahannya, maka inilah yang disebut penguat negatif. Lawan dari penguat negatif adalah penguat positif (positive reinforcement). Keduannya bertujuan untuk memperkuat respon. Namun bedanya adalah bahwa penguat positif itu ditambah, sedangkan penguat negatif adalah dikurangi agar memperkuat respons.

C.  Percobaan Teori Behavioristik
Tokoh-tokoh:
·      John B. Watson, aliran penganut behavioristik radikal.
·      Edward L. Thorndike penganut aliran behavioristik lunak.
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgRrjbcQtwNDEflkzSrC1b2tNu3W0zgy-WeLqQDADbiXxGGIIKrq184JooB4z821INFDAYf6cL6yOZUXqbpHbwku632b34f24_5NABIixYnZremVqZQh1KJ3lMuzLdDjWtStAxn-uA3-GDA/s200/albert2.jpgObyek psikologi adalah tingkah laku yang diamati dan dibuat diskripsinya. Semua bentuk tingkah laku mempunyai dasar refleks. Pembawaan tidak ada. Pendidikan dan pengajaran dapat berbuat apa saja. Menurut Watson, apa saja dapat dilakukan untuk mengubah tingkah laku seseorang, bila orang itu sejak lahir dihadapkan pada situasi-situasi belajar yang terpilih dan diawasi.
Dalam percobaannya Watson menggunakan seorang anak 11 bulan yang senang pada tikus putih. Waktu anak itu sedang membelai-belai tikus itu, dibunyikanlah suara keras. Percobaan itu dilakukan beberapa kali, akhirnya anak itu takut jika melihat tikus tadi. Dengan jalan reconditioning atau unconditioning anak yang takut pada tikus itu kembali menyukainya. Seperti halnya pada percobaan Pavlov, segala sesuatu itu dilakukan under-rigidly controlled conditions. Suatu kemajuan dalam pikiran Watson bahwa ia menganjurkan pada permulaan conditioning hanya dilakukan terhadap kebutuhan jasmaniah anak dan melindungi kebutuhan emosionalnya.
Kesimpulan: Proses belajar hanya dapat diuraikan secara eksak, bila yang dilihat hanya dari segi psikologis, belajar hanya tergantung pada kematangan, dilupakan bahwa dalam proses belajar terdapat juga pembentukan, behaviorisme menganggap bahwa memorisasi suku-suku kata yang tidak mempunyai arti atau mempelajari bentuk-bentuk reaksi yang elementer sama seperti proses belajar yang terjadi dalam pembentukan intelektual, moral, dan religius.

D.  Aplikasi Teori Behavioristik dalam Kegiatan Pembelajaran
Aplikasi teori behavioristik dalam kegiatan pembelajaran tergantung dari beberapa hal seperti; tujuan pembelajaran, sifat materi pelajaran, karakteristik siswa, media dan fasilitas pembelajaran yang tersedia. Pembelajaran yang dirancang dan dilaksanakan berpijak pada teori behavioristik memandang bahwa pengetahuan adalah obyektif, pasti, tetap, tidak berubah. Pengetahuan telah terstruktur dengan rapi, sehingga belajar perolehan pengetahuan, sedangkan mengajar adalah memindahkan pengetahuan ke orang yang belajar atau siswa. Siswa diharapkan akan memiliki pemahaman yang sama terhadap pengetahuan yang diajarkan. Artinya, apa yang dipahami oleh pengajar atau guru itulah yang harus dipahami oleh murid.
Tujuan pembelajaran menurut teori behavioristik ditekankan pada penambahan pengetahuan, sedangakan belajar sebagi aktivitas “mimetic” yang menuntut siswa untuk mengungkapkan kembali pengetahuan yang sudah dipelajari dalam bentuk laporan, kuis, atau tes. Penyajian isi atau materi pelajaran menekankan pada keterampilan yang terisolasi atau akumulasi fakta mengikuti urutan dari bagian keseluruhan. Pembelajaran mengikuti urutan kurukulum secara ketat, sehingga aktivitas belajar lebih banyak didasarkan pada buku teks atau buku wajib dengan penekanan pada keterampilan mengungkapkan kembali isi buku teks atau buku wajib tersebut. Pembelajaran dan evaluasi menekankan pada hasil belajar.
Evaluasi menekankan pada respon pasif, keterampilan secara terpisah, dan biasanya menggunakan paper and pencil test. Evaluasi hasil belajar menuntut satu jawaban belajar benar. Evaluasi dipandang sebagai bagian yang terpisah dari kegiatan pembelajaran, dan biasanya dilakukan setelah selesai kegiatan pembelajaran. Teori ini menekankan evaluasi pada kemampuan siswa secara individual.
Secara umum, langkah-langkah pembelajaran pada teori behavioristik yang berpijak pada teori behavioristik dapat digunakan dalam merancang pembelajaran. Langkah-langkah tersebut meliputi:
1.        Menentukan tujuan pembelajaran;
2.        Menganalisis lingkungan kelas yang ada saat ini termasuk mengidentifikasi pengetahuan awal (entry behaviour) siswa;
3.        Menetukan materi pelajaran;
4.        Memecah materi pelajaran menjadi bagian kecil-kecil, meliputi pokok bahasan, sub pokok bahasan, topik, dan sebagainya;
5.        Menyajikan materi pelajaran;
6.        Memberikan stimulus, dapat berupa pertanyaan baik lisan maupun tertulis, tes atau kuis, latihan atau tugas-tugas;
7.        Mengamati dan mengkaji respons yang diberikan siswa;
8.        Memberikan penguatan ataupun hukuaman;
9.        Memberikan stimulus baru;
10.    Mengamati dan mengkaji respons yang diberikan siswa;
11.    Memberikan penguatan lanjutan atau hukuman;
12.    Demikian seterusnya;
13.    Evaluasi hasil belajar.
Implikasi dari teori behavioristik dalam proses pembelajaran dirasakan kurang memberikan ruang gerak yang bebas bagi siswa untuk berkreasi, bereksperimentasi dan mengembangkan kemampuannya sendiri. Karena sistem pembelajaran tersebut bersifat otomatis-mekanis dalam menghubungkan stimulus dan respon sehingga terkesan seperti kinerja mesin atau robot. Akibatnya siswa kurang mampu untuk berkembang sesuai denganpotensi yang ada pada diri mereka.

 
BAB III
PENUTUP

A.  Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan diatas, dapat disimpulkan bahwa belajar menurut teori Behavioristik merupakan perubahan tingkah laku sebagai akibatdari adanya interaksi antara stimulus dan respon. Sedangkan apa yang terjadi di antara stimulus dan respon dianggap tidak penting diperhatikan karena tidak bisa diamati. Faktor lain yang juga dianggap penting oleh aliran behavioristik adalah faktor penguatan (reinforcement) penguatan adalah apa saja yang dapat memperkuat timbulnya respon.
Pembelajaran menurut teori behavioristik ditekankan pada penambahan pengetahuan, sedangkan belajar sebagi aktivitas “mimetic”, yang menuntut siswa untuk mengungkapkan kembali pengetahuan yang sudah dipelajari dalam bentuk laporan, kuis, atau tes. Penyajian isi atau materi pelajaran menekankan pada ketrampian yang terisolasi atau akumulasi fakta mengikuti urutan dari bagian ke keseluruhan. Pembelajaran mengikuti urutan kurikulum secara ketat, sehingga aktivitas belajar lebih banyak didasarkan pada buku teks/buku wajib dengan penekanan pada ketrampilan mengungkapkan kembali isi buku teks/buku wajib tersebut. Pembelajaran dan evaluasi menekankan pada hasil belajar.
Evaluasi menekankan pada respon pasif, ketrampilan secara terpisah, dan biasanya menggunakan paper and pencil test. Evaluasi hasil belajar menuntut jawaban yang benar. Maksudnya bila siswa menjawab secara “benar” sesuai dengan keinginan guru, hal ini menunjukkan bahwa siswa telah menyelesaikan tugas belajarnya. Evaluasi belajar dipandang sebagai bagian yang terpisah dari kegiatan pembelajaran, dan biasanya dilakukan setelah selesai kegiatan pembelajaran.

B.  Saran
Ditujukan kepada pendidik dalam memberikan stimulus dapat jelas dan mudah dipahami oleh peserta didik sehingga stimulus yang diberikan dapat diterima dengan respon yang baik oleh peserta didik. Agar proses belajar dan pembelajaran dapat berjalan dengan efektif dan efisien.
DAFTAR RUJUKAN
Budiningsih, Asri. 2005. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta.
Soemanto, Wasty. 1990. Psikologi Pendidikan (Landasan Kerja Pemimpin Pendidikan). Jakarta: Rineka Cipta.
Soeitoe, Samuel. 1982. Psikologi Pendidikan Untuk Para Pendidik dan Calon Pendidik. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Ardianto, Fefen Dwi. 2009. Kekurangan dan Kelebihan Teori Behavioristik. (http://dexzrecc.wordpress.com/2009/01/04/kekurangan-dan-kelebihan-teori-behavioristik/Kekurangan Dan Kelebihan Teori Behavioristik) diakses pada 7 Oktober 2012.
Asrori, Mohammad. 2007. Psikologi Pembelajaran. Bandung: Wacana Prima.
Budiningshi, Asri.2005. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta.
Suryabrata, Sumadi. 1990. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Rajawali.
Syah, Muhibbin. 2003. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar