BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Menurut teori behavioristik, belajar
adalah perubahan tingkah laku sebagai akibat dari adanya interaksi antara
stimulus dan respon. Seseorang dianggap telah belajar sesuatu apabila ia mampu
menunjukkan perubahan tingkah laku. Dengan kata lain, belajar merupakan bentuk
perubahan yang dialami siswa dalam hal kemampuannya untuk bertingkah laku
dengan cara yang baru sebagai hasil interaksi antara stimulus dan respon. Stimulans tidak lain adalah lingkungan belajar anak,
baik yang internal maupun eksternal yang menjadi penyebab belajar. Sedangkan
respons adalah akibat atau dampak, berupa reaksi fisik terhadap stimulans. Belajar berarti penguatan ikatan,
asosiasi, sifat dan kecenderungan perilaku S-R (Stimulus-Respon).
Proses yang terjadi antara stimulus dan
respon tidak penting untuk diperhatikan karena tidak dapat diamati dan tidak
dapat diukur. Yang dapat diamati adalah stimulus dan respon, oleh karena itu
apa yang diberikan oleh guru (stimulus) dan apa yang diterima oleh siswa harus
dapat diamati dan diukur. Teori ini mengutamakan pengukuran, sebab pengukuran
merupakan suatu hal penting untuk melihat terjadi atau tidaknya perubahan
tingkah laku tersebut.
Menurut teori ini yang
terpenting adalah masuk atau input yang berupa stimulus dan keluaran atau
output yang berupa respon. Sedangkan apa yang terjadi di antara stimulus dan
respon dianggap tidak penting diperhatikan karena tidak bisa diamati. Faktor
lain yang juga dianggap penting oleh aliran behavioristik adalah faktor
penguatan (reinforcement) penguatan
adalah apa saja yang dapat memperkuat timbulnya respon. Bila penguatan
ditambahkan (positive reinforcement)
maka respon akan semakin kuat. Begitu juga bila penguatan dikurangi (negative reinforcement) respon pun akan
tetap dikuatkan.
Faktor
lain yang dianggap penting oleh aliran behavioristik adalah faktor penguatan (reinforcement). Bila penguatan
ditambahkan (positive reinforcement)
maka respon akan semakin kuat. Begitu pula bila respon dikurangi/dihilangkan
(negative reinforcement) maka responpun akan semakin kuat. Beberapa prinsip dalam teori belajar
behavioristik, meliputi: (1)
Reinforcement and Punishment; (2) Primary and Secondary Reinforcement; (3)
Schedules of Reinforcement; (4) Contingency Management; (5) Stimulus Control in
Operant Learning; (6) The Elimination of Responses (Gage, Berliner, 1984). Tokoh-tokoh aliran behavioristik di
antaranya adalah Thorndike,Watson, Clark Hull, Edwin Guthrie, dan Skinner.
B.
Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
pengertian dari teori behavioristik?
2. Bagaimana
para ahli menemukan dan mengembangkan teori behavioristik?
3. Bagaimana
contoh peristiwa percobaannya dalam teori behavioristik?
4. Bagaimana
penerapannya dalam pembelajaran (masa kini)?
C.
Tujuan
1. Mendefinisikan
pengertian dari teori behavioristik dari berbagai para ahli.
2. Menjelaskan
penemuan dan pengembangan para ahli teori behavioristik.
3. Mendeskripsikan
contoh peristiwa percobaan dalam teori behavioristik.
4. Mendeskripsikan
aplikasi teori behavioristik dalam pembelajaran saat ini.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Teori Belajar Behavioristik
Teori
belajar behavioristik menjelaskan belajar adalah perubahan perilaku yang dapat
diamati, diukur dan dinilai secara konkret. Perubahan terjadi melalui
rangsangan (stimulans) yang menimbulkan hubungan perilaku reaktif (respon)
berdasarkan hukum-hukum mekanistik. Stimulans tidak lain adalah lingkungan
belajar anak, baik internal maupun eksternal yang menjadi penyebab belajar. Sedangkan
respons adalah akibat atau dampak, berupa reaksi fifik terhadap stimulans.
Belajar berarti penguatan ikatan, asosiasi, sifat da kecenderungan perilaku S-R
(stimulus-Respon). Menurut
teori behavioristik, belajar adalah perubahan tingkah laku sebagai akibat dari
adanya interaksi antara stimulus dan respon. Seseorang dianggap telah belajar
sesuatu apabila ia mampu menunjukkan perubahan tingkah laku. Dengan kata lain,
belajar merupakan bentuk perubahan yang dialami siswa dalam hal kemampuannya
untuk bertingkah laku dengan cara yang baru sebagai hasil interaksi antara
stimulus dan respon. Menurut teori ini yang terpenting adalah masuk atau input
yang berupa stimulus dan keluaran atau output yang berupa respon. Sedangkan apa
yang terjadi di antara stimulus dan respon dianggap tidak penting diperhatikan
karena tidak bisa diamati. Faktor lain yang juga dianggap penting oleh aliran
behavioristik adalah faktor penguatan (reinforcement)
penguatan adalah apa saja yang dapat memperkuat timbulnya respon. Bila penguatan
ditambahkan (positive reinforcement)
maka respon akan semakin kuat. Begitu juga bila penguatan dikurangi (negative reinforcement) respon pun akan
tetap dikuatkan. Misalnya, ketika peserta didik diberi tugas oleh guru, ketika
tugasnya ditambahkan maka ia akan semakin giat belajarnya. Maka penambahan
tugas tersebut merupakan penguatan positif (positive
reinforcement) dalam belajar. Jadi penguatan merupakan suatu bentuk
stimulus yang penting diberikan (ditambahkan) atau dihilangkan (dikurangi)
memungkinkan terjadinya respons.
Tokoh-tokoh aliran behavioristik
diantaranya Thorendike, Watson, Clark Hull, Edwin Guthrie dan Skinner. Pada
dasarnya para penganut aliran behavioristik setuju dengan pengertian belajar
diatas, namun ada beberapa perbedaan pendapat diantara mereka. Secara singkat,
berturut-turut akan dibahas karya-karya para tokoh aliran behavioristik sebagai
berikut:
B. Teori-Teori Belajar Behavioristik Menurut Para Ahli
B. Teori-Teori Belajar Behavioristik Menurut Para Ahli
1.
Teori
Belajar MenurutThorndike
Menurut
Thorndike, belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respon. Stimulus
yaitu apa saja yang dapat merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti
pikiran, perasaan, atau hal-hal lain yang dapat ditangkap melalui alat indera.
Sedangkan respon yaitu reaksi yang dimunculkan peserta didik ketika belajar,
yang juga dapat berupa pikiran, perasaan, atau gerakan/tindakan. Dari defenisi
ini maka menurut Thorndike perubahan tingkah laku akibat dari kegiatan belajar
itu dapat berwujud kongkrit yaitu yang dapat diamati, atau tidak kongkrit yaitu
yang tidak dapat diamati.
2.
Teori
Belajar Menurut Watson
Watson
adalah seorang tokoh aliran behavioristik yang datang sesudah Thorndike.
Menurutnya, belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respon, namun
stimulus dan respon yang dimaksud harus berbentuk tingkah laku yang dapat
diamati (observabel) dan dapat diukur. Dengan kata lain, walaupun ia mengakui
adanya perubahan-perubahan mental dalam diri seseorang selama proses belajar,
namun ia hal-hal tersebut sebagai faktor yang tak perlu diperhitungkan. Ia
tetap mengakui bahwa perubahan-perubahan mental dalam benak siswa itu penting,
namun semua ini tidak dapat menjelaskan apakah seseorang telah belajar atau
belum karena tidak dapat diamati.
Watson adalah seorang behavioris
murni, karena kajiannya tentang belajar disamakan dengan ilmu-ilmu lain seperti
fisika atau biologi yang sangat berorientasi pada pengalaman empirik semata,
yaitu sejauh dapat diamati dan dapat diukur. Asumsinya bahwa, hanya dengan
demikianlah maka akan dapat diramalkan perubahan-perubahan apa yang bakal
terjadi setelah seseorang melakukan tindak belajar. Para tokoh aliran
behavioristik cenderung untuk tidak memperhatikan hal-hal yang tidak dapat
diukur dan tidak dapat diamati, seperti perubahan-perubahan mental yang terjadi
ketika belajar, walaupun demikian mereka tetap mengakui hal itu penting.
3.
Teori
Belajar Menurut Clark Hull
Clark Hull juga
menggunakan variabel hubungan antara stimulus dan
respon untuk
menjelaskan pengertian tentang belajar. Namun ia sangat terpengaruh oleh teori
evolusi yang dikembangkan oleh Charles Darwin. Bagi Hull, seperti halnya teori
evolusi, semua fungsi tingkah laku bermanfaat terutama untuk menjaga
kelangsungan hidup manusia. Oleh sebab itu, teori hull mengatakan bahwa
kebutuhan biologis dan pemuasan kebutuhan biologis adalah penting dan menempati
posisi sentral dalam seluruh kegiatan manusia, sehingga stimulus dalam
belajarpun hampir selalu dikaitkan dengan kebutuhan biologis, walaupun respon
yang akan muncul mungkin dapat bermacam-macam bentuknya. Dalam kenyataannya,
teori-teori demikian tidak banyak digunakan dalam kehidupan praktis, terutama
setelah Skinner memperkenalkan teorinya. Namun, teori ini masih sering
dipergunakan dalam berbagai eksperimen di laboratorium.
4.
Teori
Belajar Menurut Edwin Guthrie
Demikian
juga dengan Edwin Guthrie, ia juga menggunakan variabel hubungan stimulus dan
respon untuk menjelaskan terjadinya proses belajar. Namun ia mengemukakan bahwa
stimulus tidak harus berhubungan dengan kebutuhan atau pemuasan biologis sebagaimana
yang dijelaskan oleh Clark dan Hull. Dijelaskannya bahwa hubungan antara
stimulus dan respon cenderung hanya bersifat sementara, oleh sebab itu dalam
kegiatan belajar peserta didik perlu sesering mungkin diberikan stimulus agar
hubungan antara stimulus dan respon bersifat lebih tetap. Ia juga mengemukakan,
agar respon yang muncul sifatnya lebih kuat mudah bahkan menetap, maka
diperlukan berbagai macam stimulus yang berhubungan dengan respon tersebut.
Guthrie juga percaya bahwa hukuman (punishmen)
memegang peranan penting dalam proses belajar. Hukuman yang diberikan pada saat
yang tepat akan mampu merubah kebiasaan dan perilaku seseorang. Namun setelah
Skinner mengemukakan dan mempopulerkan akan pentingnya penguatan (reinforcement) dalam teori belajarnya,
maka hukuman tidak lagi dipentingkan dalam belajar.
5.
Teori
Belajar Menurut Skinner
Konsep-konsep
yang dikemukakan oleh Skinner tentang belajar mampu mengungguli konsep-konsep
lain yang dikemukakan oleh para tokoh sebelumnya. Ia mampu menjelaskan konsep
belajar secara sederhana, namun dapat menunjukkan konsepnya tentang belajar
secara lebih komprehensif. Menurut Skinner, hubungan antara stimulus dan
respons yang terjadi melalui interaksi dalam lingkungannya, yang kemudian akan
menimbulkan perubahan tingkah laku, tidaklah sesederhana yang digambarkan oleh
para tokoh sebelumnya. Dikatakannya bahwa respon yang diberikan oleh seseorang
atau siswa tidaklah sederhana itu. Sebab, pada dasarnya stimulus-stimulus yang
diberikan kepada seseorang akan saling berinteraksi dan interaksi antara
stimulus-stimulus tersebut akan mempengaruhi bentuk respons yang akan diberikan.
Demikian juga dengan respons yang dimunculkan ini akan mempunyai
konsekuensi-konsekuensi. Konsekuensi-konsekuensi inilah yang pada gilirannya
akan mempengaruhi atau akan menjadi pertimbangan munculnya perilaku. Oleh sebab
itu, untuk memahami tingkah laku seseorang secara benar, perlu terlebih dahulu
memahami hubungan antara stimulus satu dengan lainnya, serta memahami respon
yang mungkin akan timbul sebagai akibat dari respon tersebut. Skinner juga
mengemukakan bahwa dengan menggunakan perubahan-perubahan mental sebagai alat
untuk menjelaskan tingkah laku hanya akan menambah rumitnya masalah. Sebab,
setiap alat yang digunakan perlu penjelasan lagi, demikian dan seterusnya.
Pandangan teori belajar behavioristik ini
cukup lama dianut oleh para guru dan pendidik. Namun dari semua pendukung teori
ini, teori Skinnerlah ynag paling besar pengaruhnya terhadap perkembangan teori
belajar behavioristik. Program-program pembelajaran seperti Teaching Machine, Pembelajaran
berprogram, modul, dan program-program pembelajaran lain yang berpijak pada
konsep hubungan stimulus-respons
serta mementingkan faktor-faktor penguat (reinforcement),
merupakan program-program pembelajaran yang menerapkan teori belajar yang
dikemukakan oleh Skinner.
Teori
behavioristik banyak dikritik karena sering kali tidak mampu menjelaskan
situasi belajar yang kompleks, sebab banyak variable atau hal-hal yang berkaitan
dengan pendidikan dan/atau belajar yang tidak dapat diubah menjadi sekedar
hubungan stimulus dan respon. Contohnya, seorsng siswa akan dapat belajar
dengan baik setelah diberi stimulus tertentu. Tetapi setelah diberi stimulus
lagi yang sama bahkan lebih baik, ternyata siswa tersebut tidak mau belajar
lagi. Disinilah persoalannya, ternyata teori behavioristik dapat mengganti stimulus
satu dengan stimulus lainnya dan seterusnya sampai respon yang diinginkan
muncul. Namun demikian, persoalan adalah bahwa teori behavioristik tidak dapat
menjawab hal-hal yang menyebabkan terjadinya penyimpangan antara stimulus yang
diberikan dengan responnya.
Sebagai
contoh, motivasi sangat berpengaruh dalam proses belajar Pandangan
behavioristik menjelaskan bahwa banyak siswa termotivasi pada kegiatan-kegiatan
di luar kelas (bermain video-game, berlatih atletik), tetapi tidak termotivasi
mengerjakan tugas-tugas sekolah. Siswa tersebut mendapatkan pengalaman
penguatan yang kuat pada kegiatan-kegiataan di luar pelajaran, tetapi tidak
mendapatkan penguatan dalam kegiatan belajar di kelas.
Pandangan
behavioristik tidak sempurna, kurang dapat menjelaskan adanya variasi tingkat
emosi siswa, walaupun mereka memiliki pengalaman penguatan yang sama. Pandangan
ini tidak dapat menjelaskan mengapa dua anak yang mempunyai kemampuan dan
pengalaman penguatan yang relatif sama, ternyata perilakunya terhadap suatu
pelajaran berbeda, juga dalam memilih tugas sangat berbeda tingkat
kesulitannya. Pandangan behavioristik hanya mengakui adanya stimulus dan respon
yang dapat diamati tersebut.
Teori
behavioristik juga cenderung mengarahkan siswa untuki berfikir linier, konvergen,
tidak kreatif dan tidak produktif. Pandangan teori ini bahwa belajar merupakan
proses pembentukan atau shaping,
yaitu membawa siswa menuju atau mencapai target tertentu, sehingga menjadikan
peserta didik untuk tidak bebas berkreasi dan berimajinasi. Padahal banyak
faktor yang berpengaruh proses belajar. Jadi pengertian belajar tidak
sesederhana yang dilukis oleh teori behavioristik.
Skinner
dan tokoh-tokoh lain pendukung teori behavioristik memang tidak menganjurkan
digunakannya hukuman dalam kegiatan belajar. Namun, apa yang mereka sebut
dengan penguat negatif (negative
reinforcement) cenderung membatasi siswa untuk bebas berpikir dan
berimajinasi.
Menurut
Githrie hukuman memegang peranan penting dalam proses belajar. Namun ada
beberapa alasan mengapa Skinner tidak sependapat dengan Guthrie, yaitu:
a.
Pengaruh hukuman
terhadap perubahan tingkah laku sangat bersifat sementara.
b.
Dampak psikologis yang
buruk mungkin akan terkondisi (menjadi bagian dari jiwa terhukum) bila hukuman
berlansung lama.
c.
Hukuman mendorong si
terhukum mencari cara lain (meskipun salah dan buruk) agar ia terbebas dari
hukuman. Dengan kata lain, hukuman dapat mendorong si terhukum melakukan
hal-hal lain yang kadangkala lebih buruk daripada kesalahan yang diperbuatnya.
Skinner lebih percaya kepada apa
yang disebut sebagai penguat negatif. Penguat negatif tidak sama dengan
hukuman. Ketidaksamaanya terletak pada bila hukuman harus diberikan (sebagai
stimulus) agar respon yang akan muncul berbeda dengan respon yang sudah ada,
sedangkan penguat negatif (sebagai stimulus) harus dikurangi agar respon yang
sama menjadi semakin kuat. Misalnya, seorang siswa perlu dihukum karena
melakukan kesalahan. Jika siswa tersebut masih saja melakukan kesalahan, maka
hukuman harus ditambahkan. Tetapi jika sesuatu yang tidak mengenakkan siswa
(sehingga ia melakukan kesalahan) dikurangi (bukan malah ditambah) dan
pengurangan ini mendorong siswa untuk memperbaiki kesalahannya, maka inilah yang
disebut penguat negatif. Lawan dari penguat negatif adalah penguat positif (positive reinforcement). Keduannya bertujuan
untuk memperkuat respon. Namun bedanya adalah bahwa penguat positif itu
ditambah, sedangkan penguat negatif adalah dikurangi agar memperkuat respons.
C.
Percobaan
Teori Behavioristik
Tokoh-tokoh:
· John
B. Watson, aliran penganut behavioristik radikal.
· Edward
L. Thorndike penganut aliran behavioristik lunak.
Obyek psikologi adalah
tingkah laku yang diamati dan dibuat diskripsinya. Semua bentuk tingkah laku
mempunyai dasar refleks. Pembawaan tidak ada. Pendidikan dan pengajaran dapat
berbuat apa saja. Menurut Watson, apa saja dapat dilakukan untuk mengubah
tingkah laku seseorang, bila orang itu sejak lahir dihadapkan pada
situasi-situasi belajar yang terpilih dan diawasi.
Dalam percobaannya Watson menggunakan
seorang anak 11 bulan yang senang pada tikus putih. Waktu anak itu sedang
membelai-belai tikus itu, dibunyikanlah suara keras. Percobaan itu dilakukan
beberapa kali, akhirnya anak itu takut jika melihat tikus tadi. Dengan jalan
reconditioning atau unconditioning anak yang takut pada tikus itu kembali
menyukainya. Seperti halnya pada percobaan Pavlov, segala sesuatu itu dilakukan
under-rigidly controlled conditions.
Suatu kemajuan dalam pikiran Watson bahwa ia menganjurkan pada permulaan
conditioning hanya dilakukan terhadap kebutuhan jasmaniah anak dan melindungi
kebutuhan emosionalnya.
Kesimpulan:
Proses belajar hanya dapat diuraikan secara eksak, bila yang dilihat hanya dari
segi psikologis, belajar hanya tergantung pada kematangan, dilupakan bahwa
dalam proses belajar terdapat juga pembentukan, behaviorisme menganggap bahwa
memorisasi suku-suku kata yang tidak mempunyai arti atau mempelajari
bentuk-bentuk reaksi yang elementer sama seperti proses belajar yang terjadi
dalam pembentukan intelektual, moral, dan religius.
D.
Aplikasi
Teori Behavioristik dalam Kegiatan Pembelajaran
Aplikasi teori behavioristik dalam
kegiatan pembelajaran tergantung dari beberapa hal seperti; tujuan pembelajaran,
sifat materi pelajaran, karakteristik siswa, media dan fasilitas pembelajaran
yang tersedia. Pembelajaran yang dirancang dan dilaksanakan berpijak pada teori
behavioristik memandang bahwa pengetahuan adalah obyektif, pasti, tetap, tidak
berubah. Pengetahuan telah terstruktur dengan rapi, sehingga belajar perolehan
pengetahuan, sedangkan mengajar adalah memindahkan pengetahuan ke orang yang
belajar atau siswa. Siswa diharapkan akan memiliki pemahaman yang sama terhadap
pengetahuan yang diajarkan. Artinya, apa yang dipahami oleh pengajar atau guru
itulah yang harus dipahami oleh murid.
Tujuan pembelajaran menurut teori behavioristik
ditekankan pada penambahan pengetahuan, sedangakan belajar sebagi aktivitas “mimetic” yang menuntut siswa untuk
mengungkapkan kembali pengetahuan yang sudah dipelajari dalam bentuk laporan,
kuis, atau tes. Penyajian isi atau materi pelajaran menekankan pada
keterampilan yang terisolasi atau akumulasi fakta mengikuti urutan dari bagian keseluruhan.
Pembelajaran mengikuti urutan kurukulum secara ketat, sehingga aktivitas
belajar lebih banyak didasarkan pada buku teks atau buku wajib dengan penekanan
pada keterampilan mengungkapkan kembali isi buku teks atau buku wajib tersebut.
Pembelajaran dan evaluasi menekankan pada hasil belajar.
Evaluasi menekankan pada respon pasif,
keterampilan secara terpisah, dan biasanya menggunakan paper and pencil test. Evaluasi hasil belajar menuntut satu jawaban
belajar benar. Evaluasi dipandang sebagai bagian yang terpisah dari kegiatan
pembelajaran, dan biasanya dilakukan setelah selesai kegiatan pembelajaran.
Teori ini menekankan evaluasi pada kemampuan siswa secara individual.
Secara umum, langkah-langkah
pembelajaran pada teori behavioristik yang berpijak pada teori behavioristik
dapat digunakan dalam merancang pembelajaran. Langkah-langkah tersebut
meliputi:
1.
Menentukan tujuan
pembelajaran;
2.
Menganalisis lingkungan
kelas yang ada saat ini termasuk mengidentifikasi pengetahuan awal (entry behaviour) siswa;
3.
Menetukan materi
pelajaran;
4.
Memecah materi
pelajaran menjadi bagian kecil-kecil, meliputi pokok bahasan, sub pokok
bahasan, topik, dan sebagainya;
5.
Menyajikan materi
pelajaran;
6.
Memberikan stimulus,
dapat berupa pertanyaan baik lisan maupun tertulis, tes atau kuis, latihan atau
tugas-tugas;
7.
Mengamati dan mengkaji
respons yang diberikan siswa;
8.
Memberikan penguatan
ataupun hukuaman;
9.
Memberikan stimulus
baru;
10. Mengamati
dan mengkaji respons yang diberikan siswa;
11. Memberikan
penguatan lanjutan atau hukuman;
12. Demikian
seterusnya;
13. Evaluasi
hasil belajar.
Implikasi
dari teori behavioristik dalam proses pembelajaran dirasakan kurang memberikan
ruang gerak yang bebas bagi siswa untuk berkreasi, bereksperimentasi dan
mengembangkan kemampuannya sendiri. Karena sistem pembelajaran tersebut
bersifat otomatis-mekanis dalam menghubungkan stimulus dan respon sehingga
terkesan seperti kinerja mesin atau robot. Akibatnya siswa kurang mampu untuk
berkembang sesuai denganpotensi yang ada pada diri mereka.
BAB III
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan diatas, dapat
disimpulkan bahwa belajar menurut teori Behavioristik merupakan perubahan
tingkah laku sebagai akibatdari adanya interaksi antara stimulus dan respon.
Sedangkan apa yang terjadi di antara stimulus dan respon dianggap tidak penting
diperhatikan karena tidak bisa diamati. Faktor lain yang juga dianggap penting
oleh aliran behavioristik adalah faktor penguatan (reinforcement) penguatan adalah apa saja yang dapat memperkuat
timbulnya respon.
Pembelajaran menurut teori behavioristik
ditekankan pada penambahan pengetahuan, sedangkan belajar sebagi aktivitas “mimetic”, yang menuntut siswa untuk
mengungkapkan kembali pengetahuan yang sudah dipelajari dalam bentuk laporan,
kuis, atau tes. Penyajian isi atau materi pelajaran menekankan pada ketrampian
yang terisolasi atau akumulasi fakta mengikuti urutan dari bagian ke
keseluruhan. Pembelajaran mengikuti urutan kurikulum secara ketat, sehingga
aktivitas belajar lebih banyak didasarkan pada buku teks/buku wajib dengan
penekanan pada ketrampilan mengungkapkan kembali isi buku teks/buku wajib
tersebut. Pembelajaran dan evaluasi menekankan pada hasil belajar.
Evaluasi menekankan pada respon pasif,
ketrampilan secara terpisah, dan biasanya menggunakan paper and pencil test. Evaluasi hasil belajar menuntut jawaban yang
benar. Maksudnya bila siswa menjawab secara “benar” sesuai dengan keinginan
guru, hal ini menunjukkan bahwa siswa telah menyelesaikan tugas belajarnya.
Evaluasi belajar dipandang sebagai bagian yang terpisah dari kegiatan
pembelajaran, dan biasanya dilakukan setelah selesai kegiatan pembelajaran.
B.
Saran
Ditujukan kepada pendidik dalam memberikan
stimulus dapat jelas dan mudah dipahami oleh peserta didik sehingga stimulus
yang diberikan dapat diterima dengan respon yang baik oleh peserta didik. Agar
proses belajar dan pembelajaran dapat berjalan dengan efektif dan efisien.
DAFTAR RUJUKAN
Budiningsih,
Asri. 2005. Belajar dan Pembelajaran.
Jakarta: Rineka Cipta.
Soemanto,
Wasty. 1990. Psikologi Pendidikan
(Landasan Kerja Pemimpin Pendidikan). Jakarta: Rineka Cipta.
Soeitoe,
Samuel. 1982. Psikologi Pendidikan Untuk
Para Pendidik dan Calon Pendidik. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas
Ekonomi Universitas Indonesia.
Ardianto, Fefen
Dwi. 2009. Kekurangan dan Kelebihan Teori Behavioristik. (http://dexzrecc.wordpress.com/2009/01/04/kekurangan-dan-kelebihan-teori-behavioristik/Kekurangan
Dan Kelebihan Teori Behavioristik) diakses pada 7 Oktober 2012.
Asrori, Mohammad. 2007. Psikologi Pembelajaran. Bandung:
Wacana Prima.
Budiningshi, Asri.2005. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta:
Rineka Cipta.
Suryabrata, Sumadi. 1990. Psikologi Pendidikan. Jakarta:
Rajawali.
Syah, Muhibbin. 2003. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar